Peluang Penerapan Pembiayaan Infrastruktur Melalui Skema Land Value Capture di Indonesia
Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur PUPR, Eko D Heripoerwanto memberikan dukungan yang penuh agar skema LVC ini dapat diterapkan pada pembangunan infrastruktur sektor jalan dan jembatan sebagai langkah awal. Dukungan ini dikatakan dalam sambutannya di acara Focus Group Discussion dengan tema Peluang Penerapan Pembiayaan Infrastruktur Melalui Skema Land Value Capture (LVC) di Indonesia, di Hotel Grandika, Jakarta ( 16 /11).
Land Value Capture adalah kebijakan pemanfaatan peningkatan nilai tanah yang dihasilkan dari investasi, aktivitas, dan kebijakan pemerintah dikawasan tersebut. Skema Land Value Capture (LVC) sebagai salah satu skema pembiayaan infrastruktur yang juga telah banyak diterapkan di berbagai negara, dimana Pemerintah menggunakan 2 (dua) instrumen yaitu tax based (berbasis pajak) dan development based (berbasis pembangunan) untuk menangkap manfaat dan limpahan keuntungan dari terbangunnya infrastruktur terhadap kenaikan nilai lahan.
Manfaat dari skema LVC dalam pembiayaan infrastruktur antara lain agar mendapatkan perolehan sumber pembiayaan alternative yang dapat digunakan untuk investasi sektor public lainnya dan pertambahan perolehan pendapatan daerah dari meningkatnya pajak dan retribusi
Seperti yang kita ketahui bersama pembangunan infrastruktur yang telah dilakukan oleh Pemerintah memberikan dampak pada peningkatan kualitas dan kuantitas infrastruktur di Indonesia serta memberikan efek pengganda (multiplier effect) kepada banyak sektor dan kehidupan masyarakat.
RPJMN Tahun 2020-2024 memperkirakan kebutuhan investasi infrastruktur mencapai Rp 6.445 Trilyun dan APBN hanya mampu memenuhi 37%. RPJMN juga menargetkan jalan bebas hambatan baru dan/atau beroperasi sebesar 2.500 km terdiri dari major project Tol Trans Sumatera sepanjang 2.031 km dan proyek jalan bebas hambatan lainnya yang tersebar di seluruh Indonesia. Untuk mencapai target tersebut, membutuhkan dana yang sangat besar.
Pandemi Covid-19 telah mengakibatkan kontraksi yang besar pada menurunnya pertumbuhan ekonomi dan besarnya defisit APBN. Dengan tingginya ketidakpastian berakhirnya pandemi Covid-19 dibutuhkan langkah extraordinary agar target infrastruktur tetap terpenuhi. APBN sebagai instrumen negara pada TA 2021 telah memfokuskan alokasi anggaran untuk pemulihan kesehatan masyarakat, perlindungan sosial, dukungan sektoral K/L dan Pemerintah Daerah, dukungan UMKM, bantuan pembiayaan korporasi, dan insentif usaha/pemotongan pajak.
Kebijakan prioritas alokasi anggaran APBN tersebut, tentu saja berdampak pada dukungan alokasi anggaran untuk pembangunan infrastruktur. Target infrastruktur khususnya pada jalan bebas hambatan harus terus diupayakan dapat tercapai di akhir tahun 2024 karena berperan sangat strategis menghubungkan ke berbagai kawasan-kawasan produktif, mengurangi biaya logistik, memberikan kemudahan pergerakan orang dan barang, serta memacu atau memicu terciptanya pusat-pusat ekonomi yang baru;
Ditjen Pembiayaan Infrastruktur PU dan Perumahan sebagai motor dan penggerak pembiayaan infrastruktur non-APBN harus terus dan mampu berinovasi menciptakan atau mengembangkan berbagai skema dan instrumen pembiayaan yang berhasil di berbagai negara seperti obligasi, sekuritisasi aset, asset recycle, dll. Best practices di berbagi negara harus dapat diadopsi dan diterapkan untuk konteks Indonesia. (kom)